
Pengembangan industri halal tidak dapat berjalan sendiri – diperlukan kolaborasi erat antara pemerintah, pelaku industri, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat. Di Indonesia, ekosistem halal diperkuat melalui sinergi multi-pihak yang terstruktur. Pemerintah berperan sebagai regulator sekaligus fasilitator. Sejak diundangkannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, pemerintah melalui BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) memegang otoritas sertifikasi halal nasional.
BPJPH menetapkan standar dan sistem sertifikasi, melakukan akreditasi LPH, registrasi auditor halal, hingga menerbitkan sertifikat halal. Agar target sertifikasi halal tercapai, BPJPH menggandeng berbagai pihak dengan program-program strategis. Contohnya, BPJPH meluncurkan program Sehati (Sertifikasi Halal Gratis) untuk 324.000 UMKM pada tahun 2022, yang membantu pelaku usaha kecil memperoleh sertifikasi halal tanpa biaya.
Program ini tak lepas dari dukungan ormas dan pendamping di lapangan, seperti terlihat dengan partisipasi Tim Pendamping Halal Mathla’ul Anwar dalam mensosialisasikan dan merealisasikan program Sehati di komunitas lokal.
Selain itu, BPJPH secara masif meningkatkan kapasitas SDM halal dengan melatih Pendamping Proses Produk Halal (PPH) di seluruh Indonesia. Hingga Mei 2023, tercatat lebih dari 54.000 Pendamping PPH telah disiapkan, tersebar di bawah 187 lembaga pendamping (LP3H) se-Indonesia. Ini menunjukkan skala kolaborasi pemerintah dengan lembaga-lembaga masyarakat (termasuk LP3H Mathla’ul Anwar) dalam menyediakan pendamping halal bagi UMKM.
Tidak hanya Kementerian Agama melalui BPJPH, pemerintah secara luas melibatkan lintas kementerian dan lembaga dalam pengembangan ekonomi halal. Terdapat Kelompok Kerja Industri Halal yang beranggotakan 14 kementerian/lembaga (antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kemenkop UKM, Kementerian Luar Negeri, BPJPH, BRIN, Bank Indonesia, hingga Kadin) yang bersinergi mendorong ekspor produk halal.
Sinergi ini menghasilkan berbagai kebijakan dan inisiatif, misalnya penyediaan insentif fiskal untuk industri halal, promosi investasi halal, serta kemudahan perdagangan internasional.
Bank Indonesia juga turut aktif melalui program Festival Ekonomi Syariah (FESyar) di berbagai wilayah dan event tahunan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF), yang menjadi wadah mempertemukan pelaku industri, investor, dan pembeli global untuk produk halal.
Dukungan pemerintah daerah pun digalang; Wakil Presiden selaku Ketua Harian KNEKS meminta komitmen para kepala daerah untuk memasukkan ekonomi halal dalam rencana pembangunan daerah dan menyediakan dukungan anggaran maupun regulasi di tingkat lokal.
Dengan koordinasi nasional hingga daerah, ekosistem halal dibangun secara komprehensif. Dari sisi industri, perusahaan-perusahaan pun semakin menyadari pentingnya sertifikasi halal. Produsen makanan minuman, kosmetik, farmasi, hingga fesyen berlomba memastikan produknya bersertifikat halal agar dapat diterima pasar.
Hal ini tak lepas dari dorongan konsumen yang kian peduli akan kehalalan dan kualitas. Banyak pelaku industri besar telah menjadikan sertifikasi halal sebagai standar operasional, tidak hanya untuk memenuhi regulasi domestik, tetapi juga untuk ekspansi pasar ekspor.
Data ekspor menunjukkan sektor makanan olahan dan fesyen Muslim Indonesia berhasil menembus banyak negara non-Muslim, menandakan produk halal kita kompetitif secara global. Industri juga menjalin kemitraan dengan lembaga riset dan universitas untuk inovasi produk halal, seperti pengembangan substitusi bahan non-halal atau peningkatan efisiensi proses sertifikasi.
Asosiasi bisnis dan Kamar Dagang (Kadin) turut aktif dalam advokasi kebijakan yang kondusif bagi industri halal dan penyelenggaraan pameran dagang halal. Kolaborasi antar pelaku industri dan pemerintah telah menghasilkan surplus perdagangan halal Indonesia yang besar (USD 31 miliar surplus pada 2023), dan pemerintah berharap kolaborasi ini terus ditingkatkan agar Indonesia semakin dominan di pasar halal global.
Peran lembaga pendidikan dan akademisi juga sangat vital. Universitas dan institusi riset menyediakan infrastruktur ilmu pengetahuan untuk mendukung jaminan halal. Berdasarkan Pasal 12 UU JPH, perguruan tinggi dan organisasi masyarakat diperbolehkan membentuk LPH dan Pusat Kajian Halal.
Tindak lanjutnya, berbagai kampus di Indonesia mendirikan Pusat Kajian Halal, Lembaga Pemeriksa Halal, maupun laboratorium halal. Misalnya, Universitas Mathla’ul Anwar Banten mendirikan Pusat Kajian Produk Halal (PKPH) yang bekerjasama dengan LPPOM MUI, Sucofindo, BPJPH, dan dinas terkait untuk melakukan sosialisasi, pendampingan, magang, serta penelitian di bidang jaminan produk halal. PKPH UNMA juga menggandeng dinas Koperasi & UKM melalui PLUT untuk memberikan pelatihan bisnis bagi 160 UMKM tentang keamanan pangan dan halal, sebagai upaya membangun ekosistem halal dari sektor grassroot.
Contoh lain, sejumlah Perguruan Tinggi Islam Negeri (seperti UIN Sunan Kalijaga, UIN Walisongo) telah mendirikan LPH di kampus yang terakreditasi BPJPH, sehingga dosen dan pakar mereka bisa menjadi auditor halal yang memeriksa produk secara ilmiah. Keterlibatan dunia pendidikan memastikan ketersediaan SDM ahli (auditor halal, peneliti) dan inovasi teknologi (misal metode deteksi kehalalan) untuk menunjang industri halal.
Selain itu, kurikulum edukasi tentang halal lifestyle juga mulai diintegrasikan, sehingga kesadaran halal tumbuh sejak bangku pendidikan. Sinergi tiga elemen – pemerintah, industri, dan pendidikan – ini diperkuat oleh peran organisasi kemasyarakatan dan komunitas.
Ormas Islam seperti Mathla’ul Anwar aktif menjadi mitra pemerintah dalam literasi halal hingga tingkat desa. Mereka memiliki jaringan pesantren, majelis taklim, dan UMKM binaan yang dapat didorong mengadopsi sertifikasi halal.
Para ulama dan tokoh masyarakat turut memberikan edukasi bahwa sertifikasi halal bukan sekadar regulasi, melainkan kewajiban religius dan peluang ekonomi. Kolaborasi ini menciptakan ekosistem halal yang terpadu: regulasi berjalan efektif, pelaku usaha termotivasi dan terbantu, riset dan inovasi mendukung, serta masyarakat menerima dengan antusias.
Sebagai penutup, sertifikasi halal telah terbukti menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi, baik melalui peningkatan ekspor, investasi, maupun pemberdayaan UMKM. LPH Mathla’ul Anwar akan memaksimalkan konkret kontribusi lembaga non-pemerintah dalam ekosistem ini, melalui pendampingan dan jaminan mutu sertifikasi yang berlandaskan nilai-nilai SAHABAT.
Ke depan, dengan kolaborasi yang terus dipererat antara pemerintah, industri, dan institusi pendidikan (serta dukungan komunitas), Indonesia berpotensi besar mewujudkan visinya sebagai pusat industri halal dunia. Semua pemangku kepentingan memiliki peran masing-masing yang saling melengkapi: pemerintah memberikan arah dan fasilitasi, industri sebagai pelaku utama ekonomi halal, akademisi menyumbang keahlian dan inovasi, serta lembaga seperti LPH Mathla’ul Anwar menjadi jembatan yang menghubungkan regulasi dengan implementasi di lapangan. Inilah kunci sukses pembangunan ekonomi halal yang berkelanjutan dan berdampak luas bagi kesejahteraan bangsa.